Lebih Lama Lagi
Belakangan ini sibuk merasionalkan dan mencari jawaban atas gemuruh dalam diri yang tak kunjung sirna. Mengira telah cukup mengenal diri sendiri, sehingga dapat memetakan dengan batasan jelas beragam emosi yang timbul.
Gemuruh itu layaknya tamu lama yang tak dinantikan kedatangannya, yang dahulu kerap membuat diri ini terjatuh. Sendirinya bukannya tidak tahu, tapi sungkan untuk mengaku, maka sibuk mencari distraksi dan membenarkan jawaban yang bukan.
Gemuruh yang memenuhi diri ini dikenal dengan nama pengharapan
Memori dari kenangan terdahulu terpatri jelas dalam ingatan, memberi pelajaran untuk tidak bergantung pada suatu yang fana. Karena, apa yang lebih fana dari seorang manusia kalau bukan pengharapan yang dimiliki atau diberikannya, bukan?
Nyatanya, kutemukan diri ini bertekuk lutut membisikkan sebuah pengharapan berulang kali. Ingatan akan perkataan yang terlontar dari mulut seorang yang berharga menyeruak dan menambah nelangsa yang mendera.
“Tahu tidak? Dari sekian makhluk hidup di bumi, hanya kita manusia yang diberi anugerah untuk berimajinasi cukup jauh hingga bisa merasakan yang namanya berharap. Tapi bukankah lucu? Justru kita sering menyalahkan perasaan berharap itu sebagai cikal bakal sebuah petaka.”
Waktu itu, aku hanya bisa menyunggingkan senyum simpul sebagai jawaban. Entahlah, saat melihat kerinduan terpancar dari kedua matamu sementara bibirmu berusaha menutupi dengan senyuman, tak ada kata yang dirasa cukup untuk menghibur.
“Kita terlalu sibuk menjaga hati dari luka hingga tidak berani menggantungkan harapan. Padahal, bukankah kita cenderung menaruh harapan pada hal yang kita anggap layak?”
Berpegang pada perkataanmu, rasa yakin mengikuti bisikanku yang ditujukan pada semesta. Dengan was-was menyelipkan namamu, dalam sebuah harapan untuk tinggal lebih lama.
Pada akhirnya, hati yang sudah terbiasa menjaga diri dari luka, berani untuk terluka lagi saat menemukan yang dianggapnya pantas.